Tuesday, November 16, 2010

Warisan Des Alwi untuk Negeri

Kamera film 16 mm merk Bell+Howell itu sudah lama tak digunakan pemiliknya. Produk Buatan Amerika itu pensiun seiring lahirnya kamera-kamera generasi baru yang makin bagus.

Kini, Bell+Howell itu tak akan lagi diseka oleh pemiliknya atau sekedar dipandangi untuk bernostalgia. Des Alwi Abubakar, sang pembuat film dokumenter, diplomat, pengusaha, sejarawan dan penulis buku itu pergi untuk selamanya.

Des Alwi, kelahiran Banda Naira, 17 November 1927, tutup usia karena sakit pada 12 November 2010. Dia meninggalkan berbagai karya berharga untuk negeri ini, terutama dokumentasi Indonesia yang baru lahir.

Pemimpin PT. Avisarti Film Corporation itu dengan tekun mencari cuplikan atau merekam sendiri kejadian-kejadian saat Indonesia tertatih-tatih dari kelahirannya.

Dokumentasi terlama yang ada adalah cuplikan film dari tahun 1925. "Mungkin sekitar 40 film dokumenter," kata Malik Zakaria dari bagian arsip Avisarti. Des, sampai satu bulan sebelum akhir hayatnya, masih datang ke perusahaan itu untuk melihat-lihat koleksinya dan mengedit. "Tak lama setelah itu pak Des operasi jantung."

Kepergian Des juga membuat peringatan Hari Pahlawan, khususnya di Surabaya, ada yang "kurang". Des, yang aktif di Yayasan 10 November, biasa berangkat ke Surabaya menjelang 10 November khusus untuk memutar film dokumenter tentang perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

Tokoh Kepulauan Banda yang juga pejuang kemerdekaan itu sepanjang hidupnya "men-shoot" berbagai peristiwa politik maupun budaya dan kejadian alam hingga terkumpul 9 kilometer pita seluloid, 4 kilometer di antaranya tentang Bung Karno dan Bung Hatta.

Kedekatan Des dengan para tokoh kemerdekaan tersebut tidak lepas dari masa kecilnya membantu Bung Hatta dan Sutan Syahrir saat mereka dibuang oleh Belanda ke Banda.

Des yang saat itu kelas dua ELS (sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda), melihat para tokoh kemerdekaan itu datang dari kapal, dan hingga enam tahun kemudian, dia mengantar surat-surat untuk keduanya.

Des kerap menonton koleksinya lalu membuat rangkaian tersebut menjadi karya dengan tema tertentu, misalnya Perang 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api, perjuangan di Kerawang dan Bekasi.

Pada suatu acara pemutaran beberapa tahun lalu, dia membawa dokumenter hitam-putih. Saat film diputar, tampak seorang laki-laki tua berkaus putih, dengan ramah membagikan belasan dasi kepada sekelompok wartawan. Peristiwanya terjadi di suatu siang akhir Januari 1967 di Istana Merdeka.

Satu persatu para wartawan yang tampak akrab dengan sosok tersebut menerima dasi yang mendadak jadi cindera mata perpisahan.

Beberapa saat sebelumnya, sang pemilik dasi, Bung Karno, menerima surat perintah pengosongan istana, tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.

Wajah proklamator terekam sedang berusaha menyembunyikan emosi dengan tebaran senyum, saat selesai membaca surat pengusiran.

Dokumentasi itu diambil ketika sang tuan rumah sedang bersiap meninggalkan istana, tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir. "Begitu selesai baca surat, dia bersiap keluar hari itu juga. Lihat, dia bahkan tidak perlu bawa apa-apa," kata Des kala pemutaran tersebut. Dia secara langsung memberikan narasi di film.

Kamera terus mengikuti Bung Karno yang sudah berganti dengan pakaian kebesaran, berada di sedan kenegaraan menuju helikopter yang parkir di Monas.

Perjalanan ke Istana Bogor itu menjadi penerbangan kepresidenan yang terakhir bagi Soekarno. "Begitu sampai ke Istana Bogor, beliau sudah jadi tahanan rumah, Dia tidak boleh lagi ditemui, kami juga dilarang mengambil gambar, jadi tidak ada gambar tentang suasana rumah dan saat-saat terakhirnya," kata Des. Dia tak memberi judul untuk kumpulan cuplikan tersebut.

Di film tersebut penonton dapat menyaksikan sosok Bung Karno saat bercengkrama dengan anak-anak pegawai istana. Dengan semangat, proklamator itu memimpin baris-berbaris atau menyanyi bersama.

Adegan manusiawi lainnya adalah ketika Bung Karno yang sedang "mudah tertawa" dikelilingi wartawan. Kamera dengan jarak "medium close up" terus merekam kerumunan wartawan yang bertanya jawab dengan Sang Pemimpin Besar Revolusi.

Seorang wartawan Radio Hilversum bertanya jawab dalam bahasa Belanda, dan seorang wartawan Indonesia dengan malu-malu berkata 'bisa terjemahkan pak?' yang dijawab Bung Karno "artinya itu... 'go to hell' ha..ha..ha..."

Adegan lain, ketika rokoknya habis, Bung Karno segera merogoh saku baju wartawan di depannya dan dengan santai mengambil sebungkus rokok lalu mencoba rokok putih sang wartawan. "Enak juga rokokmu."

Des juga mendapatkan gambar Bung Hatta yang sempat lupa memyambut uluran tangan Ratu Juliana, saat pengakuan Kedaulatan Indonesia di Den Haag. Kata Des, Bung Hatta mengaku sangat gugup sehingga lupa berjabat tangan.

Penghargaan
Film-film Des hanya tampil pada momen tertentu, yaitu ketika festival, reuni pejuang ataupun ketika Haul Bung Karno. Kecintaan membuat film dimulai ketika Des menjadi atase pers/kebudayaan RI di Bern (1952), kemudian Austria (1956) dan Filipina (1957).

Des juga pernah memproduksi film fiksi yaitu Tanah Gersang (1971) , Cucu (1973) dan 0013 (1974-75) yang cukup sukses di bioskop, tapi film dokumenter tetap "cinta mati"nya.

Dia melanjutkan membuat film "Dokumentasi Ambon Manise" yang meraih penghargaan di Asia Film Festival 1975, "Mimpi Menjadi Gubernur Sehari" (1977) serta "The Green Gold" yang mendapat penghargaan lembaga internasional untuk kelestarian satwa, WWF.

Dalam suatu wawancara beberapa waktu lalu, Des mengaku masih tergerak mengumpulkan film dokumenter tentang Indonesia karena ternyata tidak banyak pihak yang peduli dengan sejarah republik ini.

Satu yang menjadi kebanggaannya adalah dokumentasi yang berhasil dia dapatkan ketika Bung Karno ditangkap tentara Belanda saat perang kemerdekaan. Dia juga mengaku beruntung dapat mendokumentasikan saat-saat pertama Indonesia membangun Timor Timur. Indonesia datang membawa alat-alat berat untuk membuka daerah terisolasi. Timor Timur ketika itu hanya memiliki 7 SD, 3 SMP dan 1 SMA.

Koleksi Des juga sering diaku milik orang lain. Ketika Des memutar filmnya di suatu festival film di Jakarta tahun 2005, dalam sesi tanya jawab seorang yang mengaku associate producer suatu stasiun TV di Australia mengklaim film tersebut milik organisasinya.

"Yang begini sudah sering. Saya tinggal tanya, apa anda punya negatif filmnya? pasti tidak, soalnya negatifnya cuma saya yang pegang, artinya itu memang film saya," balas Des. Si penanya tak menimpali.

Ketika itu, Des juga mengatakan belum percaya pada pihak lain untuk menyimpan gulungan-gulungan film tersebut. Dia punya harapan, ada "anak bangsa" yang mau merawat koleksinya tersebut sebagai bukti sejarah Indonesia.

"Ada orang luar negeri ada yang nawar semua koleksi saya seharga 3 juta Dollar AS, tapi saya tidak mau. Bagaimana perasaan anda kalau sejarah bangsa ini justru ada di luar negeri," kata Des. Pertanyaan yang sudah beberapa tahun itu seolah masih tergiang...
Sumber :http://disable3.blogspot.com/search/label/berita

No comments:

Post a Comment