Perlu disinggung kembali bahwa muslimin merupakan kelompok minoritas terbesar di Eropa.
Diperkirakan jumlah warga muslim di 27 negara anggota Uni Eropa mencapai 15 juta orang. Namun mereka harus menghadapi berbagai diskriminasi, keterbatasan, pemarginalan, dan masih banyak lagi. Fenomena rasisme memang telah mengakar dalam masyarakat Eropa. Fenomena tersebut masih sangat kental pasca berakhirnya era kolonialisme. Rasisme tumbuh subur di negara-negara Barat yang mengklaim sebagai penegak panji kebebasan, kemanusiaan, dan keadilan.
Para imigran dari berbagai belahan dunia khususnya dari negara-negara eks-koloni, berbondong-bondong menuju Barat dengan harapan dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Sebagian besar mereka berasal dari negara-negara Islam. Namun, yang mereka rasakan justru sebaliknya. Disana mereka tidak merasakan kebebasan, ketentraman, cinta kemanusiaan, seperti yang dijanjikan, melainkan diskriminasi, rasisme, dan lain-lain. Itu semua terjadi hanya karena mereka berpegang teguh pada keyakinan mereka.
Pasca 11 September, anti-Islam berubah menjadi kebijakan permanen negara dan media massa Barat. Sebelumnya pun, gerakan tersebut sudah terjadi. Namun, pasca 11 September, fenomena tersebut semakin menguat, meluas, dan bahkan dilakukan secara terang-terangan. Anti-Islam dan xenophobia atau phobia terhadap orang-orang asing di Barat sedemikian parah sehingga orang-orang muslim dicap sebagai pihak yang selalu bersalah. Sementara pada saat yang sama, mereka juga dituntut untuk selalu membuktikan ketidakbersalahan mereka. Di samping itu, media-media Barat berupaya menampilkan Islam sebagai agama ekstrim dan penebar kekerasan. Dalam mempropagandakannya pun media massa Barat menggunakan cara-cara yang irasional. Misalnya ketika ada penayangan tentang Islam atau ibadah kaum muslimin, mereka selalu menyelipkan tayangan teror serta kekerasan. Sebelum serangan 11 September, warga muslim Eropa menjadi korban diskriminasi dan rasisme karena mereka bukan asli orang Eropa atau karena mereka keturunan imigran. Namun pasca 11 September, alasannya berubah karena mereka beragama Islam.
Negara-negara Eropa memberlakukan berbagai pembatasan terhadap warga muslim dengan alasan memerangi ekstrimisme dan dalam rangka menjustifikasi sekulerisme dalam sistem pemerintahan mereka. Perancis mengklaim sebagai kampiun demokrasi dan kebebasan di dunia dan dalam sektor ini Paris berada di tingkat teratas. Namun, Perancis juga merupakan negara Eropa pertama yang meratifikasi undang-undang larangan jilbab bagi para pelajar putri muslim. Padahal, warga muslim di Perancis adalah yang terbanyak dibandingkan negara Eropa lainnya. Ratifikasi undang-undang tersebut mencuatkan reaksi negatif dari negara-negara Islam. UU tersebut dinilai bertentangan dengan asas Hak Asasi Manusia dan hak sipil.
Perancis menjustifikasi penetapan UU itu dengan alasan untuk memberantas ekstrimisme. Kebijakan Perancis itu kemudian diikuti oleh sebagian negara Eropa lainnya. Kini, Belgia dan Jerman tengah membahas penerapan UU larangan jilbab. UU larangan jilbab bagi muslimah hanya satu contoh dari diskriminasi terhadap kaum muslim Eropa. Aksi diskriminasi tersebut kini meluas hingga upaya-upaya anti-pengultusan agama dan nilai-nilainya serta pemisahan muslimin dari budaya Islam. Negara-negara Eropa menyebut politik ini sebagai perluasan Islam-Eropa moderat.
Sebab itu, propaganda pelecehan terhadap Islam pun dimulai secara meluas. Gerakan anti-Islam di Eropa, dimulai dua dekade lalu oleh Salman Rushdie. Ia adalah seorang penulis Inggris keturunan India yang merilis buku penghinaan terhadap Rasulullah dan hukum-hukum Islam. Pasca 11 September, Barat mengerahkan seluruh fasilitasnya untuk membangkitkan gerakan anti-Islam. Propaganda itu didukung oleh media audio-visual dan cetak. Pemublikasian karikatur biadab terhadap Rasulullah oleh sebuah koran Denmark merupakan salah satu contohnya. Barat mendukung aksi pelecehan tersebut dengan alasan kebebasan berpendapat. Kebijakan seperti ini kian meningkatkan prasangka buruk terhadap warga muslim Eropa.
Pokok laporan European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia (EUMC) berkaitan dengan pemarginalan warga muslim. Laporan itu terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama terkait jumlah dan dokumen kasus-kasus diskriminasi, aksi pemukulan, dan tindak kekerasan terhadap warga muslim Eropa. Bagian kedua menyangkut kondisi warga muslim Eropa hasil wawancara dengan berbagai lembaga Islam di 25 negara Eropa. Laporan ini menunjukkan bahwa akibat diskriminasi dan ketidakadilan, kondisi perekonomian dan pendapatan warga muslim Eropa sangat minim. Kesuksesan pendidikan mereka juga dibawah garis menengah, dan jumlah pengangguran muslim Eropa sangat tinggi.
Tidak hanya itu, warga muslim Eropa bahkan harus berjuang menghadapi berbagai kesulitan harian mereka. Misalnya menunaikan shalat di tempat-tempat publik. Pihak kepolisian Eropa sangat mencurigai pengiriman uang warga muslim Eropa ke luar negeri, dan bantuan mereka terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan. Sejumlah keluarga muslim terpaksa memberikan nama-nama non-Islam kepada putra-putri mereka agar tak diganggu.
Saat ini, kondisi di negara-negara sangat sulit bagi orang-orang muslim. Padahal negara-negara itu pula yang mengklaim menggalakkan dialog antar budaya dan madzhab, penghormatan terhadap keyakinan, dan interaksi antara umat Islam dan Kristen. Dalam hal ini Barat menggulirkan kebijakan ganda. Di satu sisi, mereka ingin tampil sebagai pihak yang cenderung mengutamakan dialog, namun di sisi lain, mereka terus merepresi, melecehkan, dan mendiskriminasi warga muslim. Tujuannya adalah memperluas budaya Barat. Sayang sekali, Pemimpin Tertinggi Katolik Dunia, Paus Benedictus XVI, juga ikut terjun dalam propaganda ini. Bulan September tahun 2006 lalu, Benedictus menilai Islam sebagai agama ekstrim dan penebar kekerasan. Pernyataan Benedictus itu langsung direaksi negara-negara Islam dengan menarik duta besarnya dari Vatikan.
sumber:http://gusmendem.blogspot.com/2011/06/anti-islam-dan-xenophobia-di-eropa.html
No comments:
Post a Comment