Istilah muskilah yang menyakitkan .
Sejumput kisah pilu para buruh migran perempuan di kawasan Timur Tengah
"Di sana paling ringan diliatin Bos laki-lakinya telanjang itu udah biasa,
...paling-paling saya cuman ngancam mau teriak." ucap seorang mantan buruh
migran perempuan menceritakan kisah pilunya ketika bekerja di kawasan Arab
Saudi. Bahkan menurutnya, kalau seorang buruh migran perempuan aman dari bos
laki-lakinya, ternyata belum tentu "aman" dari anak-anaknya yang laki-laki
karena umunya satu keluarga punya 7 sampai 10 anak.
Ada lagi kisah menyedihkan yang diceritakan oleh seorang sopir di Terminal
III Bandara Soekarno Hatta, dimana pada suatu hari-tiba ia didekati seorang
buruh migran perempuan yang baru saja kembali dari Arab Saudi. Buruh migran
perempuan tersebut mengaku hamil tiga bulan akibat diperkosa oleh
majikannya. Karena kehamilannya inilah, buruh migran perempuan tersebut
takut pulang kampung. Ia kemudian minta izin menumpang di rumah sang sopir
tersebut sampai melahirkan sekaligus supaya mau merawat anaknya bila telah
lahir.
Pelecehan seksual sampai pemerkosaan pun ternyata mengintai setiap gerak
langkah para buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di kawasan Timur
Tengah ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat pelecehan seksual dan
pemerkosaan yang menimpa para buruh migran perempuan Indonesia dari tahun
ketahun terutama yang bekerja di kawasan Timur Tengah mengalami peningkatan
yang cukup serius.
Ironisnya akibat dari tindak pelecehan dan pemerkosaan ini tidak pernah
diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah Indonesia, bahkan hanya
melahirkan sebuah istilah "muskilah" yang berkonotasi sangat merendahkan
martabat. Muskilah merupakan salah satu istilah dalam bahasa arab yang
berarti masalah yang membuat susah. Dan istilah ini sekarang di-plot-kan
kepada buruh migran perempuan Indonesia yang pulang dari Timur Tengah dalam
keadaan hamil akibat diperkosa.
Jika mengunjungi Terminal III Bandara Soekarno-Hatta, tanyalah kepada para
aparat pemerintah yang bekerja atau siapapun yang kesehariannya berada di
tempat tersebut tentang muskilah. Maka akan meluncur deras sederetan kisah
pilu para buruh migran perempuan yang harus menanggung aib tanpa bisa
meminta perlindungan dan pembelaan kepada negara ini. Mereka harus
menanggungnya sendiri padahal sesungguhnya adalah menjadi tugas pemerintah
untuk membantu mengatasi persoalan ini.
Departemen dan Lembaga pemerintah seperti Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja
Indonesia bahkan juga Menteri Pemberdayaan Perempuan yang kesemuanya
ternyata masih menganut pola pikir patriakhi, secara faktual telah
memingggirkan nasib dan masa depan para korban pemerkosaan. Bahkan dampak
dari pemerkosaan seperti adanya anak yang lahir pun tidak pernah menjadi
sebuah kewajiban dari pemerintah untuk mengurusinya.
Negeri ini masih punya beragam komisi yang mengurusi tenaga kerja, perempuan
seperti Komisi IX DPR-RI, Komisi Perlindungan Ibu dan Anak, Komisi Nasioal
Perempuan, dan seabrek lembaga non pemerintah yang mengkhususkan dirinya
untuk dinamika perempuan; tapi sayangnya mengurusi para buruh migran korban
pemerkosaan dan anak-anak yang terlahir dari pemerkosaan tersebut sepertinya
hilang dari sentuhan aktivitas komisi-komisi ini. Hal yang paling mudah
dengan menyediakan layanan konseling bagi para buruh migran perempuan yang
merupakan korban pelecehan dan pemerkosaan pun nyaris tidak pernah
terdengar.
Agaknya bila pemerintah masih saja tidak peduli dan tidak paham, mungkin
masyarakat sendirilah yang akan bertindak dengan cara dan pola pikirnya
sendiri. Masih terngiang jelas ucapan seorang sopir taksi yang pernah
bekerja di kawasan Timur Tengah ketika melajukan taksinya menuju bandara
Soekarno-Hatta, " Mas kalau punya saudara, tetangga atau siapa pun yang
berjenis kelamin perempuan jangan sekali-kali pernah diijinkan bekerja di
Timur Tengah. Lebih banyak bencananya dari pada uang yang didapat..
Wednesday, July 27, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment