Setelah meraih Piala Citra 2010 untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik lewat film 3 Hati, Dua dunia, Satu cinta, Reza Rahadian akan kembali menunjukkan kemampuannya berakting. Kali ini lewat film The Mirror Never Lies, garapan Kamila Andini yang akan menggambarkan kisah suku Bajo dengan diselimuti keindahan dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
21cineplex.com berkesempatan untuk langsung melihat proses syuting yang beberapa waktu lalu dilakukan di Wakatobi tersebut. Dari lokasi tersebut itu Reza pun menceritakan proses syutingnya.
Ini pertamakalinya Anda syuting di Wakatobi, apa yang Anda rasakan?
“Overall ini suatu proyek yang mempengaruhi buat gue secara pribadi, terutama dalam kehidupan masyarakat Bajo-nya, karena kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan masyarakat yang tinggal di Sampela, yang notabene adalah orang-orang yang tinggal benar-benar di tengah laut jauh dari daratan.”
Apa yang menarik dari Wakatobi?
Apa yang Anda lihat dari masyarakat sana ketika proses syuting berlangsung di tempat mereka?
“Mereka sangat welcome banget, mereka melihat syuting bukan suatu yang ganjil. Yang paling menyentuh pas kita udah selesai dan bakalan pisah dengan mereka, kita puterin foto-foto mereka dengan slide show. Mereka melihatnya ada yang ketawa-ketawa, ada anak-anak yang nangis, ada yang bilang “yaah…nggak ada listrik lagi deh.” Kita memberikan satu jembatan, dikasih nama dermaga Pakis. Lalu ada juga ada 2 anak yang lahir pada saat itu dikasih nama Pakis dan Lumo.”
Di sini Anda berperan sebagai siapa?
“Tudo, seorang peneliti lumba-lumba yang kedatangannya di sini dengan dua alasan. Pertama dia mau lari dari kehidupan pribadinya yang punya masalah, dia sebenarnya orang yang mengalami kegagalan dalam sebuah hubungan, selain itu kedatangannya juga untuk meneliti lumba-lumba, ia meneliti suara lumba-lumba dan perbedaan lumba-lumba di sini dengan tempat lain. Nah dalam prosesnya ia bertemu dengan Tayung (Atiqah Hasiholan) ibunya Pakis, ada momen-momen yang terjadi antara mereka bertiga. Tudo juga mulai menyadari bahwa ia bisa melupakan masalah yang ada dan ternyata di sini dia menemukan cerita dan suasana yang baru.”
Apa yang Anda rasakan berperan sebagai karakter Tudo?
“Gue sangat menikmati peran ini, karena ini suatu yang baru dan beda. Gue bersyukur dengan apa yang gue jalani sekarang, mencoba terus untuk bisa memerankan peran-peran yang berbeda, karena itu yang gue inginkan.”
Kabarnya Anda juga belajar suara lumba-lumba?
“Gue belajar bahasa lumba-lumba dari ahlinya langsung, juga dari buku. Gue belajar resonansi, amplitudo, dan fisika. Bukunya tentang suara lumba-lumba dan satu lagi tentang jenis-jenis lumba-lumba.”
Berarti Anda jadi banyak tahu tentang lumba-lumba?
“Ya, pastinya, gue jadi tahu bagaimana mereka berkomunikasi, pengaruh dari kapal selam dan alat-alat tradisional nelayan. Ternyata banyak lumba-lumba terdampar di laut bukan karena nelayan, tapi karena lumba-lumba yang terganggu karena sinyal yang terlalu banyak. Lumba-lumba sensitif banget. Telinga mereka lebih peka dari kelelawar, mereka bisa menangkap suara sekecil apapun. Kalo paruhnya rusak atau giginya tanggak mereka akan mati, karena itu penghasil suara untuk komunikasi.”
Lalu bagaimana dengan akting anak-anak asli sana?
“Mereka mudah banget di-direct, tapi ketika mereka nggak mood atau capai mereka nggak bakal mau syuting lagi. Biasanya ada satu anak kalo lagi nggak mood suka corat-coret muka kru, jadi dia bisa ketawa-ketawa lagi baru deh mau syuting lagi. Itu salah satu cara bangun mood mereka.”
Jadi berapa lama Anda di Wakatobi?
“Gue sebulan lebih di sini, sebelumnya adaptasi dengan lingkungan, medan, anak-anak yang ikut syuting, biar pas syuting mereka udah nggak malu dan udah cair. Dan ternyata akting mereka itu amazing banget. Mereka bisa main dengan sangat keren, gokil-gokil, dahsyat-dahsyat."
Sekitar sebulan syuting di sini apakah sempat merasakan kejenuhan?
“Jujur banget gue nggak menemukan rasa jenuh di sini, karena kan kita nggak di satu tempat yang sama, kita ke daerah-daerah lain. Malah gue merasa masih banyak tempat yang belum diobservasi. Tapi kalo masalah makan emang gue jenuh, ya tapi kan mau nggak mau, kita nggak bisa request, tapi untungnya mereka pintar mengolah ikan apa saja dan untungnya lagi gue suka alam, suka laut banget. Pas nggak syuting gue snorkeling, jalan-jalan ke pulau, ngobrol-ngobrol dengan orang sekitar, dan mungkin karena keindahan alamnya yang membuat semua yang minim di sini nggak terasa, jadi bikin gue enjoy.”
Bagaimana kendala selama syuting?
“Kendala selama syuting paling masalah cuaca aja sih, karena hujan jadinya kita cuma bisa dapet satu scene.”
Jadi ketika Anda tidak syuting biasanya apa yang dilakukan?
“Di luar syuting gue banyak ngobrol dengan mereka, anak-anak, dan orang-orang tua di sana. Jadi mereka itu hidup hampir tanpa listrik, mereka tetap bisa bertahan mencari ikan di malam hari, dimana mereka makan ikan udah sehari-hari, tapi mereka juga care dengan sesama misalkan memberikan ikan bagi yang tidak mendapatkannya.”
Yang paling berat syuting di lokasi ini?
“Yang paling berat mandi dengan enam gayung, airnya penuh lumut, pasir, dan payau pula. Apalagi makannya di sini cuma ikan, ikan, dan ikan, sayurnya cuma kol di tumis. Semuanya serba minim, tapi lama-lama gue bisa bertahan. Bahkan setelah itu tanpa disadari ketika melihat yang lebih dari itu gue langsung bersyukur. Makanya gue belajar banyak banget di sini, bikin gue menghargai alam, terutama air."
Diarahkan oleh sutradara muda, bagaimana Anda melihat Kamila Andi?
“Gue melihat Dini punya taste dan kualitas pengadegan yang bagus. Ia membuka diri, open banget sama pemain dan bisa diskusi dengan pemain. Kalo ada masukan dari pemain dia terima, itu yang membuat kita merasa nyaman banget. Nggak selalu kalau usia itu menentukan kualitas seseorang. Contoh kecil misalkan aktor yang udah main sejak lama tapi nggak semuanya yang mempunyai prestasi dan kualitas. Yang gue seneng dia nggak niru sorry to say, ayahnya yang seorang Garin Nugroho. Gue pikir awalnya hasilnya pasti Garin banget. Tapi melihat dari pengadegan, treatment dialog, dia punya style yang berbeda.”
Apa Anda punya kriteria ketika memutuskan untuk berperan dalam sebuah film?
“Kriteria yang pertama adalah naskah. Karena naskah adalah jantung dari film, meskipun nantinya balik lagi bagaiman eksekusi di lapangannya. Tapi Gue nggak selalu memilih untuk jadi pemeran utama saja, karena gue justru melihat karakternya. Misalkan ketika gue melihat naskah, gue lihat ada karakter yang menarik tapi hanya dengan scene yang sedikit maka gue akan pilih itu dan meminta untuk dicasting, yang penting gue coba, kalo nggak dapet ya nggak apa-apa.”
Jika ditanya peran selanjutnya, Anda ingin berperan sebagai siapa?
“Gue pengen tokoh nasional, siapa pun, karena udah jarang banget. Meskipun ada paling film perjuangan dan itu beda konsep, yang mengangkat seperti Cut Nyak Dien udah nggak ada. Gue nggak bisa sebutin gue mau peran tokoh nasional siapa, karena kalo disebut nanti dibilang terlalu memilih.
Terakhir, harapan Anda dari film The Mirror Never Lies ini?
“Ingin menunjukkan part lain dari Indonesia, suku lain di Indonesia, yaitu suku Bajo. Siapa mereka, lalu kira-kira apa korelasi kehidupan mereka dengan bangsa ini dan apa yang perlu diperhatikan. Jadi harapan gue orang-orang bisa menangkap poin itu dan bisa menerima film ini sehingga film ini bisa menjadi bahan diskusi dan topik pembicaraan.”sumber:http://www.21cineplex.com/exclusive/reza-rahadian-kenalkan-suku-bajo-dengan-menjadi-peneliti-lumba-lumba,130.htm
No comments:
Post a Comment