Tanggal 23 September 2010 kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik Komsisaris Jendral Timur Pradopo sebagai Kapolri yang barumenggantikan Jendral Bambang Hendarso Danuri yang memasuki masa pensiun.
Terpilihnya Jendral Timung (panggilan akrab Timur Pradopo) sebenarnya termasuk hal yang mengejutkan, karena sebelumnya dia tidak termasuk salah satu kandidat kuat Kapolri yang baru. Saat itu yang menjadi kandidat kuat adalah Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sujarwo. Saat itu Timur masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya dengan pangkat Irjen (satu tingkat di bawah Komjen). Tapi siapa menyangka, ternyata dirinya lah yang akhirnya terpilih menjadi Kapolri yang baru. Dari Irjen, pangkatnya sekarang sudah naik menjadi Komjen, dan sebentar lagi pasti akan bertambah lagi menjadi Jendral Polisi, sesuai jabatannya sebagai Kapolri.
Sosok Timur memang sedikit kontroversial, karena dirinya “dicurigai” terlibat pelanggaran HAM saat kerusuhan 1998 meletus. Saat itu ia menjabat Kapolres Jakarta Barat, dimana muncul tindak kekerasan oleh aparat kepada Mahasiswa Trisakti di daerah Grogol, di wilayah tempatnya bertugas. Ketika SBY memilih Timur menjadi Kapolri, ingatan Wong Sangar terbawa kepada sosok yang belum pernah Wong Sangar temui, dan hanya bisa dibaca kisahnya dari buku-buku dan artikel saja. Wong Sangar pernah membeli biografinya, sebuah buku yang menarik.
Beberapa tahun lalu, dalam acara KICK ANDY, ditampilkan wawancara antara sang presenter, Andy F. Noya, dengan mantan presiden RI, K.H Abdurachman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur. Saat itu Andy Noya menanyakan kepada Gus Dur tentang sosok polisi jaman sekarang. Gus Dur dengan gaya khasnya yang “asal-asalan” dalam menjawab, dan sedikit bergurau menyatakan pendapatnya.
Bahwa menurut beliau, di Indonesia ini hanya ada 3 polisi yang tidak bisa disuap. Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Dan yang ketiga, Pak Hoegeng. Wong Sangar sempat berpikir, pasti yang disebut Gus Dur sebagai “Pak Hoegeng” ini bukan orang sembarangan. Dan dari situlah, Wong Sangar mulai tertarik untuk mencari biografi tentang sosok Hoegeng Imam Santoso, yang oleh Gus Dur disebut sebagai “Pak Hoegeng” tadi.
Hoegeng (dibaca “Hugeng”), merupakan nama yang asing bagi Wong Sangar sekaligus mudah untuk dihafalkan, karena cara membacanya sekilas mirip dengan nama “Sugeng”, sebuah nama yang biasa bagi orang Jawa. Hoegeng Imam Santoso lahir di Pekalongan tanggal 14 Oktober 1921. Walaupun tak banyak tercatat dalam buku sejarah, sosok Hoegeng juga terlibat saat perjuangan mempertahankan kedaulatan RI berlangsung. Sejak kecil, ia memang sudah bercita-cita sebagai polisi. Dan pada masa 1945-1950, ia pun memilih untuk menjadi polisi, tidak seperti teman-temannya yang lain yang memilih masuk Angkatan Darat atau angkatan-angkatan lainnya.
Tahun 1956, Hoegeng ditugaskan sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatra Utara. Saat itu daerah Sumatra Utara termasuk daerah yang “rawan”. Perjudian dan penyelundupan marak terjadi disana. Tokoh-tokoh di balik aksi tersebut juga terkenal lihai dalam menyuap pejabat untuk memuluskan aksi mereka. Saat Hoegeng pertama kali datang dan masuk ke rumah dinasnya, ia terkejut karena di dalam rumah sudah tersedia perabotan-perabotan lengkap dan masih baru. Bahkan 2 buah motor (saat itu menjadi barang mewah) sudah diparkir di halaman. Hoegeng kaget karena merasa tidak merasa memesan barang-barang tersebut. Kemudian seorang utusan datang dan menyampaikan kepadanya bahwa barang-barang tersebut merupakan “salam perkenalan” dari “pengusaha-pengusaha” kepada kepala polisi yang baru bertugas. Hoegeng langsung paham bahwa barang-barang tersebut merupakan media untuk menyuapnya. Ia tetap berpegang pada prinsipnya untuk menjadi seorang polisi yang jujur. Maka ia perintahkan kepada utusan itu, jika sampai sore hari barang-barang tersebut tidak dibersihkan, Hoegeng akan memerintahkan ajudan-ajudannya untuk mengeluarkannya dari rumah dan membuangnya ke jalan raya. Sebuah “tamparan” bagi para “pengusaha” tersebut. Polisi yang satu ini rupanya berbeda dengan sosok-sosok sebelumnya. Dan Hoegeng pun menunjukkan prestasi yang baik selama bertugas disana.
Pada tahun 1960, Hoegeng diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Imigrasi. Saat itu Presiden Soekarno membutuhkan sosok yang jujur untuk memperbaiki citra Jawatan Imigrasi yang semakin menurun. Saat menjabat Kepala Imigrasi, Hoegeng tetap berpegang pada idealismenya sebagai seorang yang jujur. Ia tetap tak mau memanfaatkan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi. Bahkan istrinya yang membuka usaha toko bunga pun dimintanya untuk menutup usahanya. Alasannya sederhana saja, jika ada orang yang akan berurusan dengan imigrasi, maka ia pasti akan membeli bunga di toko bunga milik istri Hoegeng, sebagai jalan untuk “memuluskan” usaha mereka. Hoegeng menganggap ini suatu hal yang tidak adil, karena jika diteruskan pasti akan merugikan toko-toko bunga yang lain. Istrinya yang mendapat penjelasan seperti ini pun akhirnya bisa menerimanya.
Karier Hoegeng mencapai puncak ketika tahun 1969 Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Kapolri. Hoegeng merupakan Kapolri yang pertama. Sosoknya yang ramah juga membuat presiden "jatuh hati".
Sebelumnya, kepala kepolisian disebut sebagai Menteri Panglima Angkatan Kepolisian/ Menpangak. Hoegeng menggantikan Jendral Soetjipto Joedidihardjo. Jendral Soetjipto merupakan sosok yang dikagumi Hoegeng. Dan tanpa disadarinya, Jendral Soetjipto juga menginginkan Hoegeng menjadi penggantinya. And the dream comes true. Hoegeng akhirnya menggantikan Jendral Soetjipto. Reputasi Hoegeng yang terkenal jujur dan identik dengan “polisi luar biasa” bisa meyakinkan Presiden Soeharto untuk memilihnya sebagai Kapolri.
Tetapi siapa sangka, di tangan penguasa yang baru seumur jagung ini
citra Hoegeng sebagai “polisi luar biasa” mampu disulap menjadi “polisi biasa-biasa” saja. Pada masa Hoegeng, terdapat 2 kasus yang membuat rapornya menjadi sedikit menurun. Pertama adalah kasus “Sum Kuning”, sebuah kasus pemerkosaan terhadap Sumarijem, seorang penjual telur asin di Yogyakarta. Peristiwa ini menjadi heboh karena pelaku pemerkosaan disinyalir adalah seorang anak pahlawan dan anak Raja Yogyakarta yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DIY. Maka, kasus ini pun akhirnya menjadi tak jelas dan penuh rekayasa, bahkan korbannya pun sempat dituduh sebagai simpatisan PKI. (teror dari pemerintah saat itu...). Hoegeng tak bisa berbuat banyak
Peristiwa kedua adalah kasus pembunuhan seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Coenrad. Saat itu tuduhan mengarah bahwa Rene ditembak oleh taruna Akpol yang terbawa emosi karena tim taruna Akpol baru saja kalah dalam pertandingan sepakbola melawan tim ITB. Rene yang kebetulan melintas dengan motornya melewati truk para taruna tersebut, kemudian diludahi dari dalam truk. Merasa tidak terima, Rene menanyakan siapa yang meludahi tadi. Tetapi pertanyaan tersebut dijawab dengan todongan pistol. Rene kemudian dihajar beramai-ramai oleh para taruna yang beringas itu. Sampai kemudian ia meninggal karena tembakan. Ketika penyelidikan terhadap kasus ini berlangsung, campur tangan penguasa rupanya cukup berpengaruh. Menurut kabar, pelaku pembunuhan itu adalah anak seorang jendral yang memegang posisi strategis dalam pemerintahan. Dan pada kasus ini pun Hoegeng tak bisa berbuat banyak. Apa yang disampaikannya tampak sekali sebagai semangat membela korps, bukan semangat membela kebenaran. Karena Hoegeng pun mendapat “tekanan” dari atas, dari para pejabat dan penguasa.
Hoegeng pun muak dengan kejadian-kejadian ini. Akhirnya ia putuskan untuk kembali kepada idealismenya, sebagai seorang polisi yang jujur. Saat itu, sekitar tahun 1971, Polri berhasil membongkar kasus penyelundupan mobil-mobil mewah yang banyak merugikan negara. Otak pelaku penyelundupan itu bernama Robby Tjahjadi, berhasil diamankan. Dengan wajah gembira, Hoegeng datang kepada presiden sebagai atasannya langsung untuk melaporkan kejadian ini. Tapi betapa terkejutnya dia, ketika memasuki kantor presiden, nampak sang presiden sedang berbicara akrab dengan penyelundup yang berhasil diamankan anak buahnya. Sejak saat itu kepercayaan Hoegeng terhadap Sang Presiden mulai luntur.
Sang Presiden pun tak tinggal diam. Rupanya ia juga tak suka dengan keberhasilan Hoegeng membongkar penyelundupan ini. Maka ia berencana menggantikan Hoegeng. Kepada pers, alasan pergantian Kapolri ini merupakan bentuk peremajaan dalam tubuh Polri. Tetapi faktanya, pengganti Hoegeng, Jendral Mohammad Hasan ternyata berusia lebih tua 2 tahun dari Hoegeng. Inikah bentuk “peremajaan” tersebut. Hoegeng kemudian dipanggil menghadap presiden. Kepadanya ditawari jabatan untuk menjadi duta besar. Saat itu seperti menjadi sebuah topeng, bahwa tokoh yang akan “dibuang” supaya pengaruhnya di dalam negeri berkurang dan “tidak membahayakan” ditunjuk sebagai duta besar. Ternyata Hoegeng menolak, dan sejak itu ia berhenti tidak dengan sebuah “happy ending”.
Sepanjang hidupnya Hoegeng tetap terkenal sebagai orang jujur. Sampai setelah dia pensiun (atau “diberhentikan”), ia tidak mempunyai rumah dan mobil. Ia tetap tinggal di rumah dinas. Akhirnya oleh Polri, rumah dinas dan mobil dinas yang biasa dipakai Hoegeng diberikan secara cuma-cuma sebagai bentuk penghargaan kepadanya. Ketika saat itu banyak jendral yang menyuruh anak-anaknya masuk militer untuk “menggantikan” bapaknya, Hoegeng dengan tegas menentangnya. Bahkan anaknya yang akan mendaftarkan sebagai anggota ABRI pun ditentangnya. Alasannya sederrhana saja, supaya tidak ada nama 2 Hoegeng dalam dunia militer.
Selepas menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng mengisi hari-harinya dengan melukis, dan bermain musik dengan kelompok Hawaian Senior, yang rutin siaran di TVRI.
Setelah Hoegeng bersama beberapa tokoh yang lain menandatangani “petisi 50” yang dianggap “menggoyang” kekuasaan presiden, ia dan teman-temannya mendapatkan “perlakuan khusus” akibat sikap mereka. Hak-hak mereka sebagai warga negara dikebiri, bahkan acaranya di TVRI pun dihentikan. Tetapi ia tidak menuntut atau membalasnya dengan sesuatu yang frontal. Hoegeng tetap bertahan pada kejujuran dan kesederhanaan sampai akhir hayatnya. Tanggal 14 Juli 2004, Jendral Polisi Hoegeng Imam Santoso wafat dalam kebersahajaannya.
Sosok Hoegeng seperti yang disampaikan Gus Dur saat itu ternyata benar-benar sosok yang istimewa.
Selamat bertugas Pak Timur Pradopo, semoga teladan seorang Hoegeng mampu membawa Polri kembali kepada semangatnya. Rastra Sewa Kottama, abdi utama bagi nusa dan bangsa.
sumber:http://wong-sangar.blogspot.com/2010/11/polisi-itu-bernama-hoegeng.html