Friday, July 29, 2011

Rectoverso " Dewi Lestari "


Setiap karya adalah anak jiwa. Dan pada tanggal 3 September 2008 lalu, Dewi Lestari baru saja resmi “melahirkan” sepasang “bayi kembar” bernama RECTOVERSO.

Inilah karya pertama Dewi Lestari yang mampu menghadirkan kedua wajah Dewi Lestari sekaligus: musik dan fiksi, album dan buku, Dee yang menulis dan Dewi Lestari yang bermusik.

Rectoverso juga merupakan karya hibrida pertama di Indonesia yang memadukan kedua dunia tadi menjadi satu karya yang utuh meski terpisah secara wujud. Karena itulah, Rectoverso bukan sekadar karya, melainkan sebuah pengalaman. Dalam pengalaman Rectoverso, fiksi dan musik saling bercermin, melengkapi, dan menggenapkan.

Ke tangan Anda, Dewi Lestari persembahkan: 11 Lagu. 11 Kisah. 11 langkah untuk menelusuri lorong hati lebih jauh lagi. Dewi Lestari ajak Anda untuk melangkah bersama. Alami Rectoverso. Dan sesudah itu, kiranya Anda sudi berbagi catatan pendek tentang perjalanan Anda menyelami karya ini. Terima kasih Dewi Lestari dari hati yang terdalam.

Berikut beberapa sharing pengalaman dari sahabat-sahabat Dewi Lestari yang sudah mencicipi Rectoverso. Dewi Lestari undang Anda untuk turut berbagi. Dan sekali lagi, terima kasih atas kata, air mata, dan izinnya.

Andrea Hirata (Penulis):
Daya tarik unik tulisan Dee adalah ia selalu menghormati intelektualitas pembaca.

Sitta Karina Rachmidiharja (Penulis):
Memaknai Rectoverso (melalui mata dan telinga) adalah kegiatan menggugah nurani sekaligus meneduhkan jiwa. Ilustrasi rintikan hujan, kilauan cahaya, tunas-tunas muda yang baru tumbuh, dan pucuk dandelion yang beterbangan... kesemua itu bukannya tanpa arti, karena Dee mengajak kita mengolah otak dan hati secara bersamaan dengan kemampuannya yang masif dalam mengurai kata, kiasan, serta metafora yang tidak hanya indah dan cerkas namun juga intim.

Riry Silalahi (Gitaris “She”):
Sekarang dua lagu dari Rectoverso menjadi RBT gue, hehe. Sejak dengar album itu, gue nulis lagu yang gue mau, yang menurut gue indah. Nggak melulu industri. So, thank you for that.

Goenawan Mohamad (Penulis, Kolumnis):
Di balik bentuk dan desain buku ini yang mungkin teramat “ngepop”, Dee bercerita dengan kejernihan dan kelembutan yang memukau. Kisah-kisahnya (“Malaikat Juga Tahu”, “Firasat”) adalah empati yang, tanpa berlebihan, menjangkau ke dalam hidup mereka yang mencintai dan tak berdaya. Bagi Dewi Lestari , cerita-cerita ini karya Dee yang terbaik: matang tapi tetap dengan rasa yang murni, sederhana tapi menampilkan apa yang luar biasa dari permukaan yang biasa.


Richard Oh (Penulis):
Dari buku ke buku, Dee membuktikan diri sebagai penulis yang semakin mapan dalam eksplorasi gaya bahasa dan memancangkan penguasaannya di wilayah kisah-kisah bermakna spiritualitas.

Seno Gumira Ajidarma (Penulis):
Rectoverso seperti puisi dalam sebelas bagian, ketika bukan alur maupun cerita yang penting melainkan nuansa bahasa dan suasana hati penuturnya berbicara. Menurut pengamatan sekilas Dewi Lestari, Rectoverso adalah lompatan dari buku-buku Dee sebelumnya. Karya ini membuat kita menghargai, menghormati, dan menikmati dunia personal.

Titi DJ (Penyanyi):
Ada sensasi baru! Dewi Lestari nikmati benar sensasinya, karena pada saat yang bersamaan mata Dewi Lestari – yang membaca novelnya, dan kuping Dewi Lestari – yang mendengar albumnya, berkolaborasi dengan manisnya untuk mengenyangkan “lapar dan haus” Dewi Lestari akan karya Dee.

Melaney Ricardo (Penyiar Trax FM, Presenter, MC):
Ibarat shampoo, Rectoverso is 2 in 1. So you really got to have it both. Sebagai orang yang awam akan kesusastraan, buku “Rectoverso” menurut gua adalah karya Dee yang lebih ‘manusiawi’. Meaning, lebih ringan terutama buat orang yang nggak betah baca sesuatu yang terlalu tebal kayak gue. Isinya cerpen-cerpen singkat tapi tetap sarat makna. And that happens to be SOOO DEEE, hehehe. Dan albumnya, hmm, what can I say… she is the jargon maker after Rihanaa with that ‘ela-ela’ thingy. Coz suddenly everybody start saying ‘malaikat juga tahu aku yang jadi juaranya’ either for their status in Facebook or even put it in their daily conversation (lol). It’s really a hit!

Ninit Yunita (Penulis, Blogger):
Rectoverso, karya yang indah dari Dee. Membuat Dewi Lestari ketagihan untuk berulang membacanya. Indah dan begitu mudah menyentuh jiwa. Demikian juga ketika mendengar musiknya. Dee selalu, secara natural, dengan mudah membuat pembaca jatuh cinta dengan karya-karyanya. I love Rectoverso!

Deddy Nur (Sutradara, Artist Manager):
Aku selalu angkat topi buat seorang Dewi Lestari yang menciptakan maha karya yang begitu indah. Seakan kita hanyut dalam buaian kata yang seolah kita sendiri yang mengalami lembar demi lembar, apalagi Dewi Lestari tak berhenti sampai di sana. Ia menginspirasikannya lagi dengan lagu-lagu bersyair dan bermelodi yang indah. Aku sebagai teman hanya bisa berucap: “Kamu yang jadi juaranya.”

Calvin Michel (Blogger):
Agak sulit mendeskripsikan warna musik pada album ini selain “menenangkan”, karena ada campuran pop, jazz, elektronika, ambient, orkestra, etc. Yang pasti semuanya dikemas dengan rapi dan membuat musik-musik di album ini sangat cocok bagi mereka yang menyukai musik santai dan melepas lelah. Album ini mirip seperti musik-musik lounge yang memberikan efek relaks bagi pendengarnya.
Lima track yang paling Dewi Lestari sukai dalam album ini adalah “Curhat Untuk Sahabat”, “Malaikat Juga Tahu”, “Aku Ada”, “Cicak di Dinding” dan “Tidur”.
Akhir kata, Dewi Lestari mengucapkan selamat kepada mbak Dewi Lestari dengan perilisan karya artistik ini, yang bisa berdiri sendiri namun merupakan satu kesatuan. Anda bisa menyentuh orang lain melalui tulisan, nyanyian dan kedua-duanya.
* See Republik Babi for a complete review.

Fahd Jibran (Penulis, Blogger):
Rectoverso mungkin hanya menuliskan kisah-kisah sederhana, tapi kesederhanaan itulah yang membuatnya tidak berjarak dengan para pembacanya. Seperti Dewi Lestari yang menikmati “Selamat Ulang Tahun” sebagai refleksi dari kisah malam ulang tahun Dewi Lestari sendiri—yang benar-benar pernah Dewi Lestari alami dalam kenyataan. Benar-benar terasa, benar-benar dekat. Setelah menyelesaikan kisahnya, Dewi Lestari mendengarkan lagunya, dan: gelombang itu datang, seperti ombak yang memeluk erat mata kaki kita, mengajak kita berlepas dari gigir pantai, menuju laut untuk menyelami kedalaman maknanya, mabuk laut kata-katanya.
Hibridasi lagu dan kisahnya telah benar-benar menjadi Rectoverso yang me-rectoverso. Lagu dan kisahnya tidak hanya saling bercermin dalam kedalaman maknanya, tapi juga saling bercermin bahkan di wajah terluar mereka. Rectoverso dalam komposisi 11:11, membuat Dewi Lestari tahu bahwa berkomunikasi dengannya adalah menghilangkan pembatasnya, melebur dengannya: satu-satu bacalah kisahnya, satu-satu resapilah maknanya.
Kritik Dewi Lestari sederhana saja, untuk buku yang masuk jadwal beli Dewi Lestari di akhir bulan menjelang Lebaran. Harganya membuat Dewi Lestari kesulitan mencarikan budget yang tepat dan memadai. Apalagi, untuk mahasiswa yang harus mudik seperti Dewi Lestari , harganya agak mengganggu kenyamanan dompet Dewi Lestari . :) Soal bukunya, ada beberapa gambar/image dan foto yang bagi Dewi Lestari kurang ‘berbunyi’… Entah kenapa…
Akhirnya, kali ini aku mengucapkannya tidak seperti perpisahan, bukan juga perjumpaan, melainkan sebuah kesadaran (Aku Ada, hal. 36). Di atas semua itu, Dewi Lestari mesti mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk kehadiran Rectoverso di ruang baca Dewi Lestari , dan tentu saja, angkat topi untuk ibu yang melahirkannya.
* See Ruang Tengah for a complete review.

Saraswaty (Blogger):
Cerita-cerita di Rectoverso bisa diibaratkan seperti sosok-sosok sekitar kita yang biasa dimunculkan di film. Ibu, Pecinta, Pemurung, Pekerja, Gadis Biasa, Orang-orang yang Kehilangan.
Tapi, pemeran yang menghidupkan sosok-sosok ini melakukan PR-nya dengan sangat baik. Pemeran utama ini seperti telah melakukan observasinya selama beberapa tahun. Dia mengerti perasaan Ibu yang memiliki cinta yang luar biasa, kemudian berpindah menjadi seorang pecinta akut di beberapa kisah, kemudian kembali menghayati perasaan gadis biasa yang menolak untuk menjadi luar biasa. Kemudian, Dewi Lestari sadar… bukankah itu semua cerita yang ada di sekitar kita? Bukankah itu kita?
11 Lagu 11 Kisah. Dewi Lestari membaca Rectoverso seperti cara makan Oreo, diputer (mendengarkan intro lagu), dijilat (mulai membaca cerita + pause lagunya), trus dicelupin (setelah dibaca setengahnya, lagu baru dimulai lagi). Hehe, 11 kali juga Dewi Lestari mengalami perasaan “pertama ga ngerti liriknya soal apa, lalu tiba-tiba senyum-senyum sendiri karena akhirnya merasa menemukan arti dan kaitan lirik dan cerita.”
Jadi, buat yang belum mengenal Rectoverso… dengar fiksinya, baca musiknya, dan rangkullah keduanya dengan hati.
* See Saraswaty for a complete review.

Jay Subiyakto (Seniman):
Kombinasi indah antara literatur dan musik yang merangsang visual. Tapi liriknya membuat Dewi Lestari sedih. Selamat, Dee!

Happy Salma (Aktris, Penulis):
Lagu-lagunya nempel di kepala dan… mmm… ceritanya membuat kita lebih dekat secara emosional dengan sang penulis.

Jo Priastana (Jurnalis):
“Peluk” – Rectoverso: Adakah kebahagiaan dan ketidakbahagiaan itu satu adanya? Dan hanya ilusi waktu yang memisahkannya karena rasa bahagia itu nyatanya hanya bentukan dari identifikasi dengan kondisi yang rentan perubahan. Mungkin dengan terhubungkan diri kepada yang tak terwujudkan dan mengizinkan pudarnya apa yang telah terbentuk di situlah terdapat ketenteraman dan kedamaian. Rectoverso is Dewi’s celebration of life!

Daniel Ziv (Penulis):
Menikmati alunan musik Rectoverso seketika membangkitkan keindahan, kecerdasan, dan kesejukan. Orisinalitas karya ini begitu mencuat di tengah lansekap musik Indonesia yang tertebak dan cenderung ‘ikut-ikutan’. Rectoverso adalah kombinasi dari visi yang konsisten, bakat yang unik, dan kerja keras.

Nanda (Senior Marketing):
Jika diizinkan aku pingin kasih opini dari 2 sisi, selaras dengan Rectoverso sendiri (hehe, ikut-ikutan). Opini pertama adalah dari keseluruhan paket yang kuterima. ‘Love the design, colors, and drawings. Especially the photographs of rain in “Firasat”. It succesfully touches my heart through my eyes. I like most of the stories, esp. “Curhat Buat Sahabat”, “Aku Ada”, dan “Back To Heaven’s Light”. Basically, semua cerita ini bagaikan alter ego Dee. Berbeda tapi satu nyawa. Dan tiap membaca suatu cerita, aku selalu mencium aroma Dee di mana-mana.

Jenny Jusuf (Penulis, Blogger):
Rectoverso berulangkali membuat Dewi Lestari jatuh cinta. Menangis. Tertawa. Merenung. Terdiam dalam hening. Terhanyut di dalamnya hingga kata-kata kehilangan makna. Sebelas kisah di dalamnya tak membosankan untuk dibaca berulang-ulang, dan sebelas lagunya telah sukses menjadikan Dewi Lestari pecandu dalam beberapa hari saja. Merasa hidup tak lengkap jika tak menyetelnya begitu bangun tidur dan mendengarkannya hingga mata siap menutup. Mungkin ilustrasi yang cukup pas untuk menggambarkan sensasi yang muncul dari pengalaman membaca dan mendengarkan Rectoverso adalah bagai menaiki rollercoaster yang bergerak lambat. Merasakan energi dan adrenalin terstimulasi, terpompa dan termanifestasi dalam berbagai wujud. Terus bergerak naik-turun tanpa perlu membangkitkan bulu roma. Atau seperti mengonsumsi narkoba dalam jumlah sedikit namun rutin. Rasa yang diberikannya membuat hati terus menagih untuk menikmati lebih dan lebih lagi. Jika Supernova adalah virus, maka Rectoverso bagi Dewi Lestari adalah zat adiktif. Candu bagi jiwa. Racun yang tak butuh penawar. Suplemen hati yang bebas dikonsumsi sepuasnya tanpa khawatir overdosis. Selamat, Mbak Dee. Sayang Dewi Lestari hanya punya empat jempol. :-)
* See Simple Pieces for a complete review.

Larasati Silalahi (Penyiar Hard Rock FM):
Kalau boleh memberi pendapat pribadi, “Rectoverso” bisa jadi obat untuk orang-orang yang selalu mengklaim dirinya ‘logis’, bahkan dalam urusan yang menyangkut perasaan, seperti cinta. Kadang-kadang, tidak ada gunanya menjadi sok kuat dan tidak memakai hati. Kadang-kadang memang firasat kita harus lebih main daripada logika. Kadang-kadang kita lebih baik mempercayai apa yang tidak bisa dilihat. Kadang-kadang kita memang harus berhenti mencari kalau semata hanya ingin mengerti. Buat apa memakai (hanya) logika kalau tubuh, jiwa, dan roh tidak sinkron? Keindahan “Rectoverso” juga terletak pada fakta hibrida-nya, karya ini lebih baik dinikmati bersamaan. Karena kalau tidak, kita bisa tersesat dalam pemikiran atau asumsi sendiri. Sebut saja lagu “Malaikat Juga Tahu”, setelah single-nya diputar di banyak radio ibukota (termasuk di Hard Rock FM :-)), banyak penikmat musik Dewi Dee Lestari yang sibuk menerka cerita di balik lirik yang sangat jujur itu, tidak sedikit juga yang mengirimkan e-mail dan sms ke gw untuk berdiskusi. Namun gw yakin, ketika kita membaca bukunya, semua imajinasi pribadi langsung luntur sesaat. Gw suka kutipan kalimat Dewi Dee Lestari pada cerita “Grow A Day Older”, “A perfect chocolate bar should be bitter sweet, not all sweet, and certainly not all bitter, for then you lose all the fun.” Itulah kehidupan, itulah cinta. Ada pahit dan manis, gelap dan terang, siang dan malam, hidup dan mati, dan seterusnya. Itulah “Rectoverso”, bukan untuk dimengerti, tapi untuk dinikmati.
* See Larasati Silalahi for a complete review.

Stella (Blogger):
Membaca sebelas cerita tersebut memberikan Dewi Lestari pengalaman emosional yang beragam dalam satu trip. Terkadang membawa Dewi Lestari membumbung setinggi awan, terkadang menghempaskan Dewi Lestari ke bawah dengan cepat. Buku ini di genggaman Dewi Lestari terasa seperti bar pengaman yang masih menghubungkan Dewi Lestari dengan dunia nyata. Jika harus memilih, Dewi Lestari akan memilih 'Peluk' sebagai cerita favorit. Dewi Lestari cukup yakin cerita itu berbicara mewakili banyak insan. Menakjubkan bagaimana Dee berhasil merangkum jeritan dan tangisan hati dalam simfoni kata-kata, yang indah namun tidak picisan. Every word fits one another perfectly. Dan efek gambar serta foto yang mengikuti di akhir cerita, telah berhasil membunuh Dewi Lestari detik itu. Memaksa Dewi Lestari untuk melepas genggaman tangan dari bar pengaman dan ikut menghilang sejenak. Mempersiapkan hati untuk menghadapi kenyataan. Even if all my fingers are thumbs, i still need to borrow another thumbs.
Thanks Dee! Congratulations!
* See Konnyaku for a complete review

Riko (Musisi, Gitaris "Mocca")
Merasakan (membaca dan mendengar) Rectoverso seperti bercermin. Banyak potongan puzzle Dewi Lestari yang bertaburan di dalamnya. Sedikit nggak percaya ternyata embrio Rectoverso ini dari lagu "Hanya Isyarat", yang dulu kita olah dengan penuh keterbatasan. Saat melihat semuanya tumbuh dengan sempurna menjadi satu "gift" yang besar buat Dewi Lestari pribadi. Satu paket sempurna yang harus dibagi dan dirasakan for your loved ones.

Sitok Srengenge (Sastrawan)
Kisah-kisah dalam Rectoverso ini semakin meneguhkan keyakinanku: Dee adalah seorang di antara sedikit penulis Indonesia yang tak hanya cerdas, tapi juga piawai bercerita dengan tema-tema unik serta bahasa yang segar, energik, dan otentik. Setiap karya yang dihasilkannya memberi sumbangan berharga bagi khazanah sastra kita.

Sarah Sechan (MC, Presenter)
Brilliant piece of work! Love it! Mau nangis baca cerita "Malaikat Juga Tahu", maybe because I'm a mother. Ngebayangin si Abang itu kehilangan, pilu bangeeeeet! Gue juga suka cerita "Peluk". Gue ngebayangin pada satu saat nanti harus pisah dengan seseorang, apakah gue punya kekuatan seperti itu; menyampaikan perasaan gue tanpa banyak omong, cukup dengan pelukan... edan. "Firasat" is also a favourite. Ah, semuanya, deh... gua suka semuaaaaa!!! Kau heibaaaaat!!!

Alex Sriewijono (Psikolog, Presenter TV):
Halaman terakhir Rectoverso baru saja kutuntaskan. Melihat orang yang lalu lalang dengan kacamata Rectoverso; kisah di belakang langkah yang bergegas, harapan di antara lontaran gumaman, dan isyarat di dalam rongga retina mata yang menatap. Bukumu tak berujung dan juga tak berakhir, seperti mengalirnya hidup bersiklus. Bukumu bisa terasa dengan dan tanpa penokohan, karena siapa pun bisa menjadi tokoh dan “people behind the screen” untuk setiap penggalan episode cerita kehidupan. “Punggung ayam” dan “air hujan” tetap tak beranjak dari ruang pikirku walau sampul belakang tidak menyisakan kata lagi untuk dinikmati.

Gery (Penyiar Female FM, MC):
Terima kasih aku dikasih kesempatan untuk bisa dengar setiap huruf di dalamnya, membaca setiap melodi senandungnya, juga melihat bau birnya. Karena kamu betul, akhirnya yang tertinggal pada kita adalah bahasa rasa. Sunyi tapi ramai, diam tapi bergerak, harum tapi terang, jatuh tapi melambung. Selamat buat Hidup yang ada di tiada. That is you, Dee!

Iwet (Penyiar Hardrock FM, MC):
Suka gaya penulisannya, suka cerita-ceritanya, dan menurutku, memang harus beli dua-duanya. Lengkap banget rasa yang ada di dalam Rectoverso itu. Aku ibaratkan, Rectoverso ini kopi susu. Ada yang suka kopi aja, ada yang suka susu aja, tapi kalo mau ngerasain yang pol, campurin deh dua-duanya. Rasanya jadi sangat kaya sekali.

Sulung (Manajer Artis):
Dee… gila ya loooo, bikin gua nangis mulai kemarin. Menangkap esensinya Rectoverso nggak boleh pakai otak tapi harus pakai hati. Ada keindahan di balik penderitaan, ada kegembiraan di balik penderitaan, semuanya ada dua sisi. Menurut gua, Rectoverso ini one the best albums and books this year. Dee nulisnya dari hati yang terdalam.

Temi (Penyiar Sky FM):
"Rectoverso membuat Dewi Lestari bisa lebih mengapresiasi cinta, menghargai perbedaan dan menerima kenyataan, dengan begitu kita lebih bisa memaknai hidup."

Shanty (Penyanyi):
Cuma satu kata: JUARA!!

Andi Rianto (Musisi):
Hiks… aku menitikkan air mata mendengarkan Rectoverso… Thank you so much for letting me be a part of this.

1 comment:

  1. karya yang bagus, numpang share ya, perkembangan desain grafis maju dengan cepat, dengan teknologi mesin cetak yang sangat mutahir.
    industri desain grafis seperti desain cover, desain brosur, dan jasa desain kayanya akan lebih banyak dibandingkan tahun-tahun kemarin.

    ReplyDelete